Sanitasi Baik Jadi Harapan di Tempat Pengungsian
BENCANA alam yang terjadi di berbagai belahan dunia mampu memindahkan kehidupan sekelompok orang yang mendiami suatu tempat ke tempat yang baru. Tempat baru ini bersifat sementara, kita sering menamakannya dengan tempat pengungsian, penampungan, atau bahkan tempat perlindungan.
Sekelompok orang akan berpidah sementara mendiami tempat-tempat itu hingga bencana usai. Namun sayangnya, di Indonesia, tidak banyak tempat perlindungan yang mampu memberikan kehidupan yang layak dari sisi sanitasi.
Seolah para korban bencana hanya membutuhkan tempat beratap terlindung dari hujan dan terik matahari. Padahal tidak kalah krusial, korban bencana ini membutuhkan sanitasi yang baik baik bagi dewasa dan balita.
Sesuai nomenklatur Millennium Development Goals atau MDGS, sanitasi adalah pembuangan tinja. Berarti dalam pengertian ini meliputi jenis pemakaian atau penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Sedangkan kriteria akses terhadap sanitasi layak jika penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis ‘latrine’ dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah.
Jika kebutuhan sanitasi yang sehat ini tidak terpenuhi, ditambah sampah yang tercecer maka tidak mengherankan jika tempat perlindungan ini justru menjadi pembawa banyak jenis penyakit untuk manusia baik dewasa, apalagi balita yang belum mampu mengendalikan kebersihan diri sendiri.
Untuk itu diperlukan standarisasi sanitasi yang benar-benar baik di setiap tempat pengungsian termasuk akses air bersih. Ini bertujuan agar mereka yang memang secara mental dan fisik sedang terpuruk, tidak diperparah dengan adanya masalah kesehatan yang kemudian menjadikan kondisi mereka lebih parah lagi.
Seperti yang dialami baru-baru ini dengan peristiwa Gempa Majene. Mereka sudah hidup berkalang sampah dan mulai sakit. Sejumlah orang tua mengaku anak mereka mengalami demam, flu dan batuk. Bahkan beberapa balita mengalami diare.
Foto : REthink Tokyo